Tanggal 22 Mei yang lalu keluargaku diundang oleh salah seorang famili kami untuk sebuah syukuran pernikahan anak lelakinya. Pesta resepsi untuk anak lelaki bagi orang Jawa biasa disebut Ngunduh Mantu. Acara tersebut diadakan dengan maksud memboyong sang pengantin wanita untuk diperkenalkan kepada lingkungan keluarga pengantin pria.
Acara ngunduh mantu kali ini diadakan di daerah..... hmm.. daerah itu tuh.. hmm mana sih ya? Hahaha.. entahlah. Pokoknya arah mau ke Tawangmangu. Kalau Tawangmangu tau dong ya.. Tempat wisata yang terkenal akan air terjun yang bernama Grojogan Sewu (Air Terjun Seribu). Lokasinya terletak di lereng Gunung Lawu, sebuah gunung berapi di dekat perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebetulan kakak sepupunya papaku ini, yang merupakan si empunya hajat, memiliki sebuah rumah makan dan pemancingan di daerah itu, maka acara ngunduh mantu dilaksanakan di rumah makannya tersebut.
Sebenarnya yang jadi inti ceritaku bukan tempat ataupun pengantinnya, namun jamuannya. Seperti yang kita tahu, jaman dulu waktu kita (oke, bukan kita tapi saya) masih kecil, jika diajak pergi resepsi oleh orangtua maka akan terbayang suatu rangkaian acara yang setidaknya akan memakan waktu 2-3 jam. Semua orang akan duduk dan mengikuti rangkaian acara dari awal hingga akhir. Namun di lingkunganku hal itu kini sudah jarang kutemui. Jika ada undangan pernikahan, maka tentu yang terbayang adalah sebuah jamuan pesta berdiri atau standing party yang tamu hadir "hanya" untuk bersalaman dengan pengantin, makan, lalu pulang. Bahkan tidak jarang dandan dan persiapanku sebelum berangkat akan memakan waktu lebih lama dibanding waktuku di pesta tersebut.
Hadir di pesta tanggal 22 lalu tersebut mengingatkanku pada kebiasaan masyarakat di sekitarku yang kini berubah. Pada pesta itu disediakan begitu banyak kursi yang berjajar rapi dan sebuah meja yang sudah tersusun beberapa gelas teh di setiap baris kursinya. Pada pesta ini semua tamu duduk sambil mendengarkan lagu-lagu campursari klasik yang terlantun merdu dari dua orang penyanyi sembari menunggu acara dimulai.
Acara dimulai setelah pengantin dan keluarga pengantin wanita tiba. Sang pranata cara alias MC bicara banyak sekali dalam bahasa Jawa, namun hampir sebagian besar kata-katanya tidak bisa kupahami. Bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa EYD yang tentunya jarang digunakan untuk percakapan sehari-hari. (suatu excuse bagi seorang Jawa yang ga paham bahasanya hehe)
Setelah runtutan kata-kata yang tidak kupahami itu selesai, para biduanita kembali melantunkan tembang campursari dan beberapa lagu masa kini yang populer. Kemudian ada belasan pemuda berseragam batik berdiri di beberapa titik yang tersebar di gang antara kursi tamu. Tak lama berselang datang beberapa pemuda lain, yang juga berseragam batik yang sama, keluar membawa sebuah nampan besar dengan beberapa piring berisi sup. Pemuda ini kemudian menghampiri pemuda yang sudah stand by di beberapa titik tersebut untuk membagikan piring yang berisi sup tadi kepada para tamu. Supnya berisi daging giling, kacang polong, wortel, dan jamur tiram yang dibungkus dengan telur dadar. Cantik. Kemudian tidak lama kemudian datang hidangan selanjutnya yang dibagikan dengan cara yang sama. Hidangan ini berupa nasi putih yang dicetak berbentuk bunga di tengah, dan ada beberapa macam lauk di sekelilingnya. Lauknya adalah sambal goreng telur, bola-bola daging dimasak terik , udang goreng tepung, tumisan sayur, acar, dan kerupuk. Oiya, ada satu cup es puter rasa coklat sebagai dessertnya.
So? Kenapa dengan pesta itu? Ada yang penting? Iya, tentu saja. Pada acara resepsi itu aku merasa sangat menikmati setiap prosesi acaranya. Dibandingkan saat menghadiri suatu pesta berdiri, aku merasa lebih terlibat dan lebih merasa ikut berbahagia saat mengikuti setiap rangkaian acaranya. Belum lagi perasaan terasanjung karena dilayani saat menikmati jamuannya, baik itu round table maupun ramesan seperti saat itu. Sampai-sampai aku berbisik pada adekku "Wah, kalau kondangannya seperti ini berasa banget. Ngga sekedar numpang lewat doang hehe..".
Satu lagi hal yang menarik, pesta macam ini selalu kutemui saat menghadiri pesta pernikahan di Sragen, Karanganyar, dan sekitarnya. Baik itu acara sederhana di rumah, di masjid, maupun pesta mewah dengan jumlah tamu cukup banyak di gedung. Sedangkan beberapa puluh kilo dari tempat itu, acara resepsi macam itu sudah tidak populer lagi, berganti dengan pesta berdiri. Menarik, kan?
Belajar menulis, belajar mengenal budayaku, belajar menjadi wanita, belajar menjadi istri, belajar berbagi, dan belajar tentang banyak hal lainnya.
Jumat, 24 Mei 2013
Resepsi Piring Terbang
Kuliner Solo: Sego Liwet Bu Wongso Lemu
Solo atau juga dikenal dengan nama Surakarta merupakan salah satu kota yang terletak di Jawa Tengah. Kota ini tergolong istimewa karena banyak hal. Diantaranya karena kota ini merupakan pusat dari wilayah Keraton Surakarta, salah satu kerajaan yang masih eksis di Indonesia hingga kini selain Yogyakarta. Sebagai pusat kebudayaan, tentu banyak hasil budaya -budidaya- atau kreasi manusia yang menarik di Solo, termasuk kuliner.
Solo terkenal dengan begitu banyaknya kuliner yang menggugah selera dan tidak asing lagi bagi kebanyakan orang. Sebut saja nasi timlo, nasi liwet, serabi, tengkleng, dll. Untuk kali ini, menu yang akan aku review adalah Sego Liwet atau nasi liwet.
Untuk yang pernah ke Solo pastilah tidak asing dengan nama Bu Wongso Lemu. Nama itu adalah "merk" yang paling populer saat menyebutkan kata sego liwet Solo. Lokasinya tidak sulit dicari karena ada di dekat Jl.Slamet Riyadi yang merupakan ruas jalan yang paling mudah ditemukan bagi pelancong. Tepatnya berada di daerah Keprabon. Di ruas jalan tersebut akan ditemui sederet warung sego liwet Bu Wongso Lemu. Sederet? Ya. Memang ada banyak warung sego liwet Bu Wongso Lemu ini. Trus mana yang asli? Hehe entahlah.. mungkin asli semua. Kalau yang enak? Hmm.. kayanya sih enak semua. Hehe.. Soalnya pernah nyoba ke dua warung yang berbeda (tapi sama-sama Bu Wongso) dan enak semua.
Warung Sego Liwet Bu Wongso Lemu yang aku kunjungi kali ini adalah warung pertama di ruas jalan tersebut. Tempat duduknya bisa pilih mau di lesehan atau di bangku panjang dekat display makanannya. Oiya, warung sego liwet ini hanya buka pukul 16.00-2.00 ya.. jadi kalau siang belum buka.
Mungkin ada yang belum tahu, apa sih nasi liwet itu? CMIIW,sebenarnya nasi liwet menunjukkan cara memasak nasinya. Kalau jaman sekarang masak nasi tinggal tekan tombol "cook" di penanak nasi listrik, nah jaman dulu nasi dimasak dengan beberapa cara yang berbeda. Salah satu teknik memasak nasi tradisional adalah dengan cara liwet ini. Cara yang lain yaitu aron dan tim. Ngliwet adalah teknik memasak beras agar menjadi nasi dengan menggunakan ketel atau panci. Beras langsung dimasak di panci yang berisi air tersebut. Saat hampir matang, nasi diaduk agar matangnya rata. Cara memasak ini biasanya banyak menghasilkan kerak di dasar panci. Cara masak dengan liwet ini punya karakter yang berbeda dengan cara memasak nasi yang lain. Karena dimasak dengan api langsung (teknik lain harus menggunakan 2 panci sehingga panci berisi beras tidak terkena api secara langsung), maka tidak bisa sembarangan baik ukuran api maupun jenis beras. Api yang digunakan adalah api sedang, tidak boleh terlalu besar karena akan menyebabkan gosong atau banyak kerak di dasar panci. Jenis beraspun biasanya beras berkualitas bagus karena proses memasaknya hanya sekali, tidak dikukus lagi seperti pada teknik lain, sehingga nasi yang dihasilkan pulen.
Nah, untuk nasi liwet khas Solo ini, nasi putih tersebut disajikan bersama sayur jipang/labu siam yang diiris seukuran korek api, suwiran ayam, dan terakhir, topping kepala santan yang disebut areh. Untuk tambahannya bisa pilih hati ampela, telur, atau potongan daging ayam. Mengenai penyajiannya sendiri menggunakan daun pisang yang dilipat sedemikian rupa dan ditusuk dengan lidi atau istilahnya pincuk.
Untuk satu porsi nasi liwet Bu Wongso Lemu ini kurang lebih 11ribu, jika ada tambahan lain seperti telur, daging ayam, dll jadi 15-20ribuan. Untuk minumannya selain yang standar ada wedang kacang, wedang ronde, dll. Wedang kacangnya enak, hanya saja karena kacangnya kurang empuk jadinya aku kurang suka.
Place: 7 . Warung sederhana dan bersih, termasuk toiletnya.
Food: 8 enak, terutama nasinya pulen banget
Price: 8 MURCE!! Love it!
Jelas ke sana lagi dong.. tempat wajib kunjung kalau ke Solo nih.
Rabu, 22 Mei 2013
Soto Tauto Pekalongan
Seminggu yang lalu kami: aku, mama, Rintintin dan pacarnya, Kiky ke Pekalongan. Niat utamanya sih ngantar mama ada perlu ketemu sama supplier, tapi berhubung sudah sampai sana jauh-jauh rasanya rugi kalau ngga mampir ke Pasar Sentono. Sebelum hunting batik, kami mampir makan di warung Soto Tauto di sisi depan Pasar Sentono.
Soto Tauto adalah makanan khas Pekalongan. Yang unik dari soto ini adalah menggunakan tauco pada kuahnya. Tauco adalah semacam saus yang dibuat dari kedelai. Isi sotonya ada soun, daging (bisa pilih ayam atau daging sapi), dan irisan daun bawang buaanyak *o(^^o)horee..daun bawangnya banyak(o^^)o* . Soto tauto dimakan bersama lontong atau nasi putih. Untuk rasa? Jelas sesuai namanya, rasa khas tauco sangat mendominasi. Rasa tauco itu sedikit masam dengan aroma yang cukup kuat.
Rasa: 7 / ada rasa tauconya bikin khas
Harga: 6 / standar soto turis lah, 15rb ama minum
Tempat: 6 / warung sederhana yang cukup bersih